Kamis, 26 Mei 2016

Upacara adat suku bugis

Mappabotting: Upacara Adat Perkawinan Orang Bugis, Sulawesi Selatan

Pasangan pengantin Bugis bersama passeppi (pagar ayu)
berdiri di atas pelaminan

Mappabotting adalah upacara adat perkawinan orang Bugis di Selawesi Selatan. Secara garis besar, pelaksanaan upacara adat ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu upacara pra perkawinan, pesta perkawinan, dan pasca perkawinan.

1. Asal-usul

Mappabotting dalam bahasa Bugis berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan (Christian Pelras, 2006:178). Menurut Ibrahim A (dalam Badruzzaman, 2007), istilah perkawinan dapat juga disebut siabbinéng dari kata biné yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa Bugis, kata biné jika mendapat awalan “ma” menjadi mabbiné berarti menanam benih. Kata biné atau mabbiné ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata bainé (istri) atau mabbainé (beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbinéng mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.
Menurut pandangan orang Bugis, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami-istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppé mabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh (Pelras, 2006:178). Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya berlangsung antarkeluarga dekat atau antarkelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya (Hilman Hadikusuma, 2003:68). 
Meskipun sistem perkawinan endogami tersebut masih bertahan hingga sekarang, namun tidak dianut secara ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak dilakukan di luar lingkungan kerabat elautherogami (Hadikusuma, 2003:69). Kendati demikian, peran orang tua tetap diperlukan untuk memberikan petunjuk anak-anaknya agar mendapatkan pasangan hidup dari keturunan orang baik-baik, memiliki adab sopan-santun, kecantikan, keterampilan rumah tangga, serta memiliki pengetahuan agama.  
Dengan demikian, keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. H. TH. Chabot (dalam Badruzzaman, 2007) mengatakan, pilihan pasangan hidup bukanlah urusan pribadi, namun merupakan urusan keluarga dan kerabat. Untuk itulah,  perkawinan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat. 
Alasan lain orang Bugis harus mengadakan pesta perkawinan adalah karena hal tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat. Semakin meriah sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial soseorang. Millar (dalam Pelras, 2006:184) pernah mengatakan bahwa upacara perkawinan merupakan media bagi orang Bugis untuk menunjukkan posisinya dalam masyarakat dengan menjalankan ritual-ritual serta mengenakan pakaian-pakaian, perhiasan, dan berbagai pernak-pernik tertentu sesuai dengan kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar